Kematian itu milik semua orang. Dan kematian itu datangnya
tiba-tiba. Malaikat maut yang bertugas mencabut nyawa itu tidak pernah
ber-assalaamu’alaikum atau ber-kulonuwun (permisi) pada orang yang akan ia
cabut nyawanya. Kita tidak tahu kapan ia datang, dan jika ia datang pun kita
tak bisa menolaknya. Padahal jika kita mati, babak baru hidup kita pun dimulai.
Waktu hidup, kita bisa mempersiapkan diri untuk hari kiamat, tapi jika sudah
mati, kesempatan itu musnah sudah.
Sudah waktunya kita untuk segera beramal, jangan sampai kita
menyesal. Al-Hasan berkata, “Mengherankan. Orang masih sempat tertawa padahal
di belakangnya ada kobaran api (neraka), dan masih sempat-sempatnya
bersenang-senang padahal kematian dari belakangnya. “
Dalam kenyataannya ada dua macam akhir hidup, yaitu akhir
hidup yang baik atau husnul-khotimah dan akhir hidup yang buruk atau
su’ul-khotimah. Husnul-khotimah adalah akhir kehidupan seseorang yang beriman
kepada Allah dan percaya pada hari berbangkitnya manusia dengan bermodalkan
taqwa. Jadi iman dan taqwa adalah faktor utama untuk menuju husnul-khotimah.
Dan ketaqwaan yang berujud amal sholih itu adalah wujud dari keimanan. Contoh
husnul-khotimah adalah seseorang yang mati dalam memperjuangkan kalimat Alloh
Subhaanahu Wa Ta’ala atau sesorang yang akhir amalannya dalam taat pada Alloh
Subhaanahu Wa Ta’ala. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Siapa saja yang mengucapkan ‘Laa ilaaha illaLlaah’ pada akhir hidupnya untuk
mencari ridha Allah, maka ia akan masuk surga. Siapa saja yang berpuasa pada
akhir hidupnya untuk mencari ridha Allah , maka dia akan masuk surga. Dan siapa
saja yang bersedekah pada akhir hidupnya untuk mencari ridha Allah, maka ia
akan masuk surga. “(HR: Ahmad V/391).
Sedangkan su’ul-khotimah ialah apabila sewaktu akan
meninggal dunia seseorang didominasi oleh perasaan was-was yang disebabkan
keragu-raguan atau keras kepala atau ketergantungan terhadap kehidupan dunia yang akibatnya ia
harus masuk ke neraka secara kekal kalau tidak diampuni oleh Alloh Subhaanahu
Wa Ta’ala.
Sebab-sebab su’ul-khotimah secara ringkas antara lain
adalah perasaan ragu dan sikap keras
kepala yang disebabkan oleh perbuatan bid’ah (perkara dalam agama yang tidak
pernah dituntunkan oleh Nabi shallallahui ‘alaihi wa sallam), menunda-nunda
taubat, banyak berangan-angan tentang kehidupan duniawi, senang dan membiasakan
maksiat, bersikap munafik, dan bunuh diri.
Ibnu Qayyim menyebutkan dari salah seorang saudagar bahwa
seseorang di antara kerabatnya sebelum meninggal dunia ditalqin untuk
mengucapkan kalimat tauhid, Laa ilaaha illaLlaah. Namun ia justru mengucapkan,
” Barang ini murah. Barang pembelian itu bagus. Yang ini begini, yang itu
begitu….” dan begitu seterusnya hingga ia mati.
Beliau menyebutkan pula bahwa ada seorang lelaki penggemar
musik sedang dalam keadaan kritis lalu ditalqin agar mengucapkan kalimat
tauhid, Laa ilaaha illaLlaah. Tetapi ia justru menyenandungkan lagu,
“Naanana…naanana…” hingga ia mati.
Ibnu Rajab Al-Hambaly mengutip ucapan Abdul Aziz bin Abu
Rawwad sebagai berikut, “Aku pernah melihat seorang lelaki yang dituntun untuk
membaca kalimat syahadat menjelang ajalnya. Namun tragisnya, kalimat terakhir
yang keluar dari mulutnya adalah kalimat yang justru mengingkari kalimat
syahadat, sehingga ia mati dalam keadaan seperti itu. Ketika kutanyakan siapa dia sebenarnya, ternyata dia
adalah peminum minuman keras” Abdul-Aziz lalu berkata pada para pelayat, ”
Takutlah kalian dari berbuat dosa. Sebab
dosa-dosa itulah yang mencampakkan dia seperti itu. “
Syaikh Al-Qahthany bercerita, ” Pernah aku memandikan mayat.
Baru saja kumulai, mendadak warna kulit si mayat berubah jadi hitam legam,
padahal sebelumnya putih bersih. Dengan rasa takut aku keluar dari tempat
memandikan. Lalu aku bertemu dengan seorang laki-laki. Aku bertanya,”Mayat itu
milikmukah ?” Ia jawab, ” Ya,” Aku bertanya lagi, “Apa ia ayahmu?” Ia menjawab,
” Ya.” Aku bertanya, ” Kenapa ayahmu itu sampai begini?” Ia menjawab, ” Sewaktu
hidupnya ia tidak sholat.” Maka aku katakan kepadanya, ” Urusi sendiri ayahmu,
dan mandikanlah ia ! “
Ibnu Qayyim berkata, ” Abu Abdullah Muhammad bin Zubair
Al-Haiany bercerita pada kami, bahwa suatu hari selepas Ashar ia keluar rumah
untuk berjalan-jalan di taman. Menjelang matahari tergelincir, ia meratakan
sebuah kuburan. Tiba-tiba ia melihat sebuah bola api yang telah menjadi bara
dan di tengahnya ada mayat. Dia usap-usap matanya seraya bertanya pada dirinya,
apakah hal ini mimpi atau kenyataan. Setelah melihat dinding-dinding kota
Madinah, ia baru sadar bahwa hal ini suatu kenyataan.
Dengan rasa takut dan tubuh gemetar, ia pulang. Ketika
keluarganya menyuguhi makanan, ia tidak kuasa memakannya. Setelah cari info ke
sana ke mari, akhirnya diperoleh jawaban bahwa kuburan itu adalah kuburan
penguasa yang zalim yang suka korupsi yang kebetulan mati hari itu.”
Kita mohon perlindungan Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala dari
su’ul-khotimah. Kita tidak tahu bagaimana akhir hidup kita nanti, apakah baik
atau buruk. Karena itu hendaknya kita instropeksi diri terhadap iman dan taqwa
kita.
Orang-orang sholih zaman dahulu pun takut akan keburukan
akhir hidup mereka. Sufyan Ats-Tsaury sering menangis sendiri dan berkata, ”
Aku begitu takut kalau dalam suratan takdir aku tercatat sebagai orang yang
celaka. Atau imanku lepas ketika akan menghadapi maut.”
Ketika ajal hampir menjemputnya, Ibrahim An-Nakha-i menangis
seraya berkata, ” Bagaimana aku tidak menangis pada saat aku menanti utusan
Tuhanku, apakah membawa berita bahwa aku ke sorga, ataukah ke neraka ?”
Ketika Abu ‘Athi’ah menjelang wafat, ia menangis dan
ketakutan. Orang-orang bertanya, ” Mengapa Anda ketakutan ?” Dia menjawab, ”
Bagaimana mungkin aku tidak takut pada detik-detik seperti ini dan kemudian aku
akan dibawa ke mana, aku tidak tahu. ” Begitulah kehidupan orang-orang saleh
terdahulu. Walau pun sudah terkenal kesalehannya, namun tetap saja mereka takut
pada su-ul khotimah.
Lalu bagaimana dengan kita ? Sudah pantaskah kita untuk
tidak merasa takut akan su’ul-khotimah ? Padahal mereka, para salafush-sholih,
yang tentu lebih baik agamanya dari kita pun masih merasa takut akan
su’ul-khotimah.
Lalu jika kita ingin mati dengan husnul-khotimah dan tanpa
su’ul-khotimah, apa yang harus dilakukan? Simak hadits ini: Dari Ali bin Abu
Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda, yang artinya: “Setiap diri yang telah dihembuskan nyawanya, maka
Allah telah menentukan tempatnya di surga atau di neraka” Lalu ada seorang
shahabat yang bertanya, ” Ya Rasululloh, kalau begitu apakah tidak sebaiknya
kita pasrah pada apa yang telah ditentukan kepada kita dan kita tidak usah
beramal ?” Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Beramallah!
Masing-masing akan diberikan kemudahan trehadap apa yang telah diciptakan
untuknya. Adapun yang termasuk orang-orang yang bahagia, maka Alloh akan
memudahkannya melakukan amalan orang-orang yang bahagia. dan adapun yang
termasuk orang-orang yang celaka, maka Alloh akan memudahkannya melakukan
amalan orang-orang yang celaka.” Kemudian beliau membaca firman Alloh: ” Adapun
orang-orang yang memberikan (hartanya pada jalan Alloh) dan bertaqwa, dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan
baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya
cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami kan menyiapkan
baginya (jalan) yang sukar (QS: Al-Lail: 5-10 )” (HR: Al-Bukhary dan Muslim)
Begitulah jawabannya. Tetap saja kita diperintahkan untuk
beramal sholih, walaupun celaka atau bahagianya kita telah ditentukan sejak kita
masih di rahim ibu. Sebab siapa saja yang bertaqwa dan beriman, Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala akan memudahkan
beginya jalan menuju bahagia. Dan tentu saja kita juga harus menjauhi amal-amal
buruk agar Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala menghindarkan kita dari jalan yang
celaka.
Tentu saja, beramal sholih dan menjauhi maksiat itu ada
cara-cara yang jitu untuk melakukannya. Siapa yang mengetahui cara-cara
tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan tentu ia akan bahagia. Maka sudah
sewajarnya kita berlomba-lomba mencari tahu cara-cara tersebut lewat bertanya,
membaca buku-buku agama, dan tentu saja dari materi-materi di majelis
pengajian. Wallahu ‘Alam.
No comments:
Post a Comment