Wednesday, September 2, 2015

Meniti Jejak Menuju Surga


"Janganlah kalian," jelas 'Aisyah dan 'Uqbah bin 'Amir memperdengarkan dalam riwayat Ahmad, "Membenci wanita. Sebab ia adalah teman duduk yang menyejukkan hati dan sangat berharga kehadirannya."

Hari itu ada pemandangan yang tak biasanya. Ada sedikit rasa aneh, juga janggal, yang menggelayut di hati orang-orang. Hari itu, ada adegan kehidupan yang lain daripada yang lain. Ada selaksa tak akrab yang hinggap di wajah orang-orang itu, sehingga raut dan rona muka mereka agak sedikit kurang bersahabat.


Ya, hari itu Rasulullah tetap menjadi imam shalat mereka, seperti hari-hari biasanya. Tapi yang tidak biasa, beliau mengimami sambil menggendong cucu beliau, Umamah binti Zainab binti Muhammad.

Maka, dijelaskan oleh Abu Qatadah al-Anshari dalam riwayat al-Bukhari, jika Rasulullah hendak sujud, beliau menurunkan cucu beliau dari gendongan. Begitu hendak berdiri lagi, beliau mengangkatnya kembali ke gendongan. Ya, hari itu Nabi Muhammad shalat, dan menjadi imam bagi sahabatnya dengan menggendong cucu perempuan kesayangannya. Namun rupanya, hal itu oleh sahabat-sahabatnya dianggap sebagai sesuatu yang tak biasa, bisa dikatakan menyelesihi kebiasaan bangsa Arab. Oleh karenanya, raut muka wajah mereka sedikit memantulkan rona kejanggalan.

Hal itu bukan tak disengaja oleh Nabi. Adegan yang dianggap aneh itu bukan tanpa sebab dikerjakan oleh Nabi. Pemandangan yang menimbulkan aura kejanggalan pada diri sahabat-sahabat itu bukan tanpa hikmah dilakukan oleh Nabi.

Ya, ada pelajaran yang ingin disampaikan oleh Nabi, dan ada tambahan ilmu yang harus dicari oleh sahabat-sahabat nabi.

Nabi ingin mengajarkan kepada mereka, sekaligus mengusir paradigma yang sudah terlanjur menggurita, bahkan juga membongkar kedustaan para pembenci Islam, bahwa Islam menghargai keberadaan wanita. Bahwa Islam menjunjung tinggi harkat dan martabatnya. Itu hikmahnya.

Rahasia yang tersembunyi, ujar al-Fakihani sebagaimana tercantum dalam Fathul Bari, “Di balik perbuatan Nabi menggendong Umamah adalah karena ingin menyelisihi kebiasaan yang berlaku di kalangan bangsa Arab yang membenci anak wanita, apalagi menggendongnya.”

“Maka,” tukasnya lebih lanjut, “Sengaja Nabi melakukan hal itu ketika shalat adalah sebagai bentuk ketidaksetujuan yang mendasar terhadap kebiasaan bangsa Arab tersebut. Tersebab menjelaskan langsung dengan perbuatan kadangkala lebih membekas dan mengena daripada hanya sekedar dengan kata-kata.”

Itulah ajaran yang hendak disampaikan oleh Nabi. Itulah hikmah yang akan dibagi-bagikan oleh Nabi. Itulah dia, Islam mengajarkan ummatnya untuk berlaku lembah lembut terhadap wanita. Islam menganjurkan pemeluknya untuk berkasih sayang terhadap wanita. Islam memerintahkan segenap manusia untuk tak sungkan-sungkan memuliakan wanita.

Maka melalui sabda-sabda Nabi kita tercinta, juga praktik nyatanya dalam kehidupan sehari-hari, kita bercermin sekaligus menimba segudang selaksa makna, bahwa berbuat baik, dengan segala macamnya terhadap wanita adalah bukti kualitas iman kita.

“Sebaik-baik kalian,” tegas Nabi dalam riwayat at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Albani dalam Silsilah Shahihah-nya, “Adalah yang paling baik terhadap keluarganya; istrinya. Aku adalah yang paling baik dalam memperlakukan keluargaku; istriku.”

Sekali lagi, mari bercermin pada larik-larik pantulan wahyu itu, untuk kemudian kita jadikan jejak sebagai pedoman langkah-langkah kita meniti jalan ke surga. Lewat sebarik kisah-kisah salaf yang mengagumkan, kita menjadi tahu bahwa memuliakan wanita tak harus dibuktikan dengan memanjakannya. Bahkan, melalui baris-baris keteladanan mereka yang terpancar dari sinaran wahyu; al-Qur’an dan Sunnah, kita juga paham bahwa menjunjung tinggi martabat wanita tak musti selalu diwujudkan dengan menuruti kemauannya.

Begitu juga dari segudang pengalaman hidup mereka yang membuat decak kagum, kita juga bisa mengambil pelajaran bahwa memuliakan harkat wanita tak bisa diidentikkan dengan memenjarakan dan mengungkungnya. Bahkan, dari seluas amal yang terwujud dari kedalaman ilmu mereka, kita juga mengerti bahwa menghargai wanita tak harus disimbolkan dengan hal-hal yang berbau dunia.

Maka seperti yang dilakukan oleh Nabi, ketika Fatimah, putri tercinta, datang mengeluhkan kesusahan hidup dan minta diberi seorang pembantu, beliau enggan mengabulkan permohonannya. Bahkan, beliau menganggap permintaan itu sudah di luar sewajarnya. Alih-alih memberi pembantu, beliau justru mengajarkannya amalan yang hendaknya dibaca sebelum tidur, hal yang jauh lebih baik sebagai bekal hidup daripada sekedar pembantu.

Maka juga seperti yang dilakukan Sa’id ibn Musayyab, sang pemuka tabi’in, yang menolak lamaran seorang anak khalifah, lalu menikahkan putrinya dengan seorang duda mantan muridnya sendiri. Baginya, status dunia tidaklah penting, sebab yang terpenting adalah keshalihan. Meskipun untuk hal itu, ia dengan suka rela harus menanggung dera cambukan berkali-kali.

Maka juga seperti kakeknya Imam Abu Hanifah, yang menikahkan putri semata wayangnya dengan seorang pemuda miskin tapi jujur, yang sedang meminta keikhlasan sebuah apel yang sudah terlanjur dimakan. Pernikahan yang terjadi hanya karena sekali pertemuan saja.

Maka lewat kisah-kisah di atas, juga kisah-kisah lain yang serupa tapi tak sama, mari kita lebih mengilmui ajaran yang suci ini, untuk kemudian kita jadikan ia kemudi dalam setiap langkah kita dalam memperlakukan wanita-wanita yang ada dan hadir di tengah-tengah kehidupan kita. Agar jejak-jejak langkah kita adalah jejak yang mantap dan kokoh, menuju surga.  Memuliakan wanita adalah perbuatan terpuji yang berjaminan surga. Ia adalah perilaku yang mencerminkan iman di dada, sekaligus pantulan kualitas diri, yang di akhirat sana akan menyelamatkan dari jilatan api neraka. Ia adalah perangi mulia, yang penitahannya turun langsung dari Rabiil ‘Alamin dan terucap dari lisan baginda nabi tercinta. Ia adalah wasiat, yang begitu menggetarkan, yang dipesankan nabi kepada ummatnya.

Memuliakan wanita adalah perbuatan yang tidak hanya dilakukan kepada mereka-mereka yang menjadi teman seperjalanan kita, para istri. Tapi, ianya juga perilaku yang musti kita perlihatkan kepada bangsa wanita yang ada di sekitar kita: ibu, kakak, adik, dan tetangga kita.

Memuliakan wanita juga adalah perangai yang harus kita suguhkan bukan pada hal-hal yang baik, mudah, dan tidak menyulitkan saja. Tapi, ianya juga akhlak yang musti kita hiaskan pada hal-hal menyusahkan; harus ada kesabaran, ekstra kerja keras, dan perjuangan dalam mewujudkannya.

Memuliakan wanita adalah pekerjaan yang tidak mudah, tapi juga tidak sulit. Tidak mudah karena ianya memerlukan kebijaksanaan dalam tataran praktik nyatanya, namun ia terselimuti bayang-bayang egoisme dan gengsi kelelakian. Dan tidak sulit karena ia adalah bagian kehidupan, yang dalam menjalaninya banyak contoh teladan yang bisa dijadikan panutan. Hanya saja ianya terganjal oleh riak-riak kecil ketidakmengertian.

Singkatnya, memuliakan wanita adalah sebuah kemuliaan, yang kelak juga menghasilkan kemuliaan sekaligus pemuliaan bagi pelakunya. Kemuliaan dan pemuliaan yang tiada dua dan bandingannya. Seperti baris-baris sabda Nabi berikut.

“Janganlah kalian,” jelas ‘Aisyah dan ‘Uqbah bin ‘Amir memperdengarkan dalam riwayat Ahmad, “Membenci wanita. Sebab ia adalah teman duduk yang menyejukkan hati dan sangat berharga kehadirannya.”

“Sesiapa yang,” tulis Albani dalam Silsilah Shahihah-nya ketika menyimpul ulang hadis Nabi dalam riwayat ‘Uqbah, “Memiliki tiga orang anak wanita, lalu ia bersabar dalam memberi mereka makan, minum, dan pakaian dari rezeki yang diberikan Allah, maka kelak mereka akan menjadi hijab bagi dirinya dari neraka pada hari kiamat.”

“Siapa saja,” catat Albani dalam Silsilah Shahihah manakala menulis ulang riwayat Ahmad, “Yang dikarunia tiga anak wanita atau tiga saudari kandung, atau bahkan dua anak wanita atau dua saudari kandung wanita; lalu ia bertakwa kepada Allah dalam memperlakukan dan berbuat baik kepada mereka, melainkan ia akan dijamin masuk surga.”

“Siapa pun,” gores Albani dalam Silsilah Shahihah tatkala mencatat ulang riwayat Abu Ya’la dan al-Bukhari, “Yang menanggung beban hidup tiga anak wanita; mencukupi, menyayangi, dan mengasihi mereka, maka ia pasti berada di surga.”

“Tidaklah seseorang,” tegas ‘Aisyah dalam riwayat al-Baihaqi seperti yang tercantum dalam Silsilah Shahihah, “Yang mencukupi kebutuhan hidup tiga anak wanita atau tiga saudari kandung, juga memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya, melainkan ia akan terhindar dari api neraka.” Dalam riwayat Abu Sa’id al-Khudri, “Melainkan ia akan masuk surga.”

“Sesiapa saja,” jelas Nabi dalam riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi, “Yang memiliki tiga anak wanita atau tiga saudari kandung wanita, atau bahkan dua anak wanita atau dua saudari kandung, lalu dia menemani perjalanan hidup mereka dengan sebaik-baiknya seraya bertakwa kepada Allah—dalam sebuah riwayat lain, ‘Lalu mendidik mereka dengan sebaik-baiknya, sampai menikahkan mereka.’—maka baginya surga.”

Dalam riwayat Anas ibn Malik sebagaimana tercantum dalam Silsilah Shahihah, “Maka ia masuk surga bersama saya, seperti ini—seraya baginda Nabi mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.”

“Siapa pun,” tegas Nabi dalam riwayat Imam Muslim, “Yang mendapat cobaan karena dikaruniai anak-anak wanita, lalu ia memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya, maka kelak mereka akan menjadi hijab bagi dirinya dari api neraka.” Lewat sebarik sabda-sabda indah tersebut, maka mari menapaktilasi jejak agung nan mulia itu. Jejak-jejak kemuliaan, yang berakhir pada kemuliaan juga. Melalui pantulan cahaya-cahaya sinaran wahyu tersebut, mari kita jejakkan langkah-langkah kaki kita di atas titian ilmu, sembari terus berlemah lembut pada gelas-gelas kaca. Lalu ianya kita jadikan sebagai pijakan untuk selalu berkaca pada sejarah, bahwa ternyata kita adalah makhluk yang ‘sama’. Lantas dengannya kita menyelaksai makna tersembunyi yang sesungguhnya, di sana: karena ia sungguh mulia, dan benarlah ia amat berjasa. Untuk kemudian, dan ini yang terpenting, supaya kita juga mampu untuk berucap padanya agar engkau mulia dan bahagia.

Maka, mudah-mudahan langkah kaki kita mantap dan kokoh. Langkah-langkah, yang dengan segenap keyakinan, meniti jalan menuju surga. Dan mudah-mudahan jejak kaki kita tegar dan kuat. Jejak-jejak, yang dengan sepenuh cinta, melangkah menyambut surga.
***
Madinah, 22 Maret 2015
Penulis: Ridho Abdillah, BA., MA.

Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment