Apa hukum membaca
al-Fatihah dan bagaimana dengan makmum?
Dijawab oleh
al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Secara global membaca al-Fatihah hukumnya wajib pada setiap
rakaat sebagai rukun yang menentukan sahnya shalat. Ini mazhab jumhur ulama.
Dalilnya adalah:
1. Hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ
يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.
“Tidak sah shalat orang yang tidak membaca al-Fatihah.”
(Muttafaq ‘alaih)
Hadits ini diriwayatkan pula oleh ad-Daraquthni dengan
lafadz,
لاَ تُجْزِئُ صَلاَةٌ لاَ يَقْرَأُ
الرَّجُلُ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat yang pelakunya tidak membaca al-Fatihah
padanya.” Kata ad-Daraquthni, “Ini adalah sanad yang sahih.” Al-Albani juga
menyatakannya sahih.
2. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
مَنْ صَلَّى صَ ةَالً
لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ
فَهِيَ خِدَاجٌ-ثَ ثَالًا-غَيْرُ تَمَامٍ. فَقِيلَ
بِألَِي هُرَيْرَة:َ إِنَّا نَكُونُ
وَرَاءَ الْإِمَامِ ؟ فَقَالَ: اقْرَأْ
بِهَا فِي نَفْسِكَ
“Barang siapa melaksanakan shalat tanpa membaca ummul
Qur’an, shalatnya batal—tiga kali—, tidak sempurna.”
Lantas dikatakan kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
“Sesungguhnya kami biasa shalat di belakang imam (apa yang kami lakukan)?”
Kata Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Bacalah ummul Qur’an
pada dirimu sendiri (secara berbisik).” (HR. Muslim)
Adapun dalil bahwa hal itu wajib sebagai rukun pada setiap
rakaat shalat adalah,
1. Amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang secara
kontinu membaca al-Fatihah pada seluruh rakaat shalatnya tanpa pernah
meninggalkannya sama sekali, bersama sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي.
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
(HR. al-Bukhari dari Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu)
2. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas tentang
lelaki yang tidak tahu shalat yang benar lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam mengajarinya tata cara shalat yang benar termasuk membaca surat
(al-Fatihah) dan bersabda kepadanya,
ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي
صَلاَتِكَ كُلِّهَا.
“Kemudian kerjakanlah hal itu semuanya pada seluruh rakaat
shalatmu.” (Muttafaq ‘alaih)
Secara detail, jumhur ulama berpendapat membaca al-Fatihah
wajib sebagai rukun shalat bagi orang yang shalat sendiri dan imam. Adapun bagi
makmum, mereka berselisih pendapat. Yang terbaik dari seluruh mazhab yang ada
adalah:
1. Disyariatkan bagi makmum membaca al-Fatihah pada saat
imam membaca secara sirr; shalat sirriyyah secara mutlak dan shalat jahriyyah
rakaat ketiga dan keempat. Begitu pula pada shalat jahriyyah rakaat pertama dan
kedua jika makmum tidak bisa menyimak bacaan imam karena jauh dan jika imam
sengaja diam untuk memberi kesempatan makmum membacanya. Akan tetapi, terdapat
perbedaan pendapat di antara penganut mazhab ini apakah hal itu hukumnya hanya
sunnah atau wajib.
a. Hal itu disunnahkan.
Ini yang masyhur dari Ahmad yang dipilih oleh al-Khiraqi dan
Ibnu Qudamah. Pendapat ini berhujah bahwa bacaan imam telah mewakili bacaan
makmum secara hukum berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu,
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ
فَقِرَاءَتُهُ لَهُ قِرَاءَةٌ.
“Barang siapa diimami oleh seorang imam, bacaan imamnya
adalah bacaan untuknya juga.” (HR. Ahmad, an- Nasa’i, Ibnu Majah,
ad-Daraquthni, dan al-Baihaqi. Dinyatakan hasan oleh al-Albani dengan
penguat-penguatnya)
Namun, membaca al-Fatihah lebih baik baginya daripada diam
saja, karena shalat itu terdiri dari gerakan dan bacaan. Adapun mengatakan
makmum diam saja tanpa membaca padahal tidak pula ada bacaan imam yang disimak,
hal itu nyata-nyata keliru.
b. Hal itu diwajibkan.
Ini pendapat lama asy-Syafi’i dan riwayat lain dari Ahmad
yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan al-Albani. Pendapat ini berhujah bahwa
bacaan imam hanyalah mewakili bacaan makmum secara hukum apabila makmum
menyimak bacaan imamnya. Adapun tidak ada bacaan imam yang disimak karena imam
membaca secara sirr atau imam menjaharkannya tetapi tidak tersimak dengan baik
olehnya karena jauh, maka bacaan imam tidak dapat mewakilinya.
Dalilnya adalah hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu di atas
dengan asumsi bahwa bacaan imam mewakili bacaan makmum secara hukum jika makmum
menyimak bacaan imamnya dengan baik. Hal ini sesuai dengan perintah Allah
Subhanahu wata’ala pada firman-Nya,
وَإِذَا
قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan al-Quran, dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat.” (al-A’raf: 204)
Al-Imam Ahmad—pada riwayat Abu Dawud—menukil ijma’ ulama
bahwa maksud ayat ini adalah dalam shalat. Yakni, wajib bagi makmum diam untuk
menyimak bacaan imamnya pada shalat jamaah. Adapun selain itu, tidak wajib.
Diriwayatkan pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَإِذَا
قَرَأَ فَأَنْصِتُوا.
“Dan jika imam membaca al-Qur’an, diamlah (untuk
menyimaknya).”
Dengan demikian, ayat dan hadits ini menunjukkan bahwa
seorang makmum pada shalat jahriyyah (rakaat pertama dan kedua) berkewajiban
diam untuk menyimak bacaan imamnya secara umum baik itu al-Fatihah maupun surat
setelahnya. Dengan itu makmum telah terwakili secara hukum. Lagi pula, apa
gunanya imam membaca dengan jahar jika imam tidak menyimaknya melainkan sibuk
dengan bacaannya sendiri?
Menurut pendapat ini, pada mulanya ada izin membaca di
belakang imam kemudian hukum itu mansukh (dihapus) berdasarkan hadits Abu Hurairah
Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam usai
melaksanakan satu shalat yang beliau jahrkan bacaannya kemudian beliau
bersabda, ‘Apakah ada di antaara kalian yang membaca bersamaku tadi?’ Seorang
laki-laki menjawab, ‘Ya, wahai Rasulullah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, ‘Aku katakan, ‘Kenapa aku dibarengi (hingga terganggu) dalam
membaca al-Qur’an?’ Ia berkata, ‘Akhirnya orang-orang berhenti membaca di
belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat yang beliau
jaharkan bacaannya ketika mereka telah mendengar larangan itu dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam’.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i,
Ibnu Majah, dan lainnya. Dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi, dinyatakan sahih
oleh Abu Hatim ar-Razi, Ibnu Hibban, Ibnul Qayyim, al-Albani, dan al-Wadi’i)
Tampak sekali bahwa pendapat ini lebih kuat daripada
pendapat yang pertama.
2. Diwajibkan bagi makmum membaca al-Fatihah secara mutlak
baik pada shalat sirriyyah maupun pada shalat jahriyyah.
Ini mazhab Syafi’i—sesuai pendapat asy-Syafi’i yang baru—,
Ibnu Hazm, dan al-Bukhari yang dirajihkan asy- Syaukani, Ibnu Baz, Ibnu
‘Utsaimin, dan Muqbil al-Wadi’i.
Pendapat ini berdalil dengan keumuman makna hadits-hadits
yang mewajibkan membaca al-Fatihah bahwa hal itu mencakup pula makmum pada
setiap shalat termasuk shalat jahriyyah tanpa ada dalil kuat yang mengeluarkan
makmum dari keumuman maknanya. Sebaiknya makmum membacanya saat imam diam
sebelum membaca atau setelah membaca jika hal itu mungkin. Jika tidak, wajib
membacanya meskipun pada saat imam membaca al-Fatihah dan surat setelahnya.
Setelah membaca al-Fatihah, wajib diam untuk menyimak bacaan imamnya dan ini
adalah ijma’ ulama.
Adapun pendapat bahwa bacaan imam yang disimak dengan baik
oleh makmum telah mewakilinya berdasarkan hadits Jabir z, hal itu keliru.
Sebab, hadits Jabir z telah dihukumi dha’if (lemah) oleh para imam ahli hadits
terdahulu. Kata al-Bukhari dalam kitab “al- Qira’ah Khalfa al-Imam”, “Hadits
ini tidak benar periwayatannya dari Nabi n menurut pakar ilmu hadits dari
kalangan penduduk Hijaz, ‘Iraq, dan lainnya karena sanadnya mursal dan terputus
dari riwayat Ibnu Syaddad dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Ad-Daraquthni dalam Sunan-nya dan al-Baihaqi dalam
al-Qira’ah Khalfa al-Imam telah menyatakan hal yang sama. Kata Ibnu Hajar dalam
Talkhish al- Habir (1/420, Muassasah Qurthubah), “Masyhur dari hadits Jabir,
dan memiliki jalan-jalan riwayat yang lain dari sekelompok sahabat lainnya,
tetapi semuanya memiliki cacat/kelemahan.” Guru besar kami, Muqbil bin Hadi
al-Wadi’i dalam Ijabatus Sa’il juga menghukuminya dha’if.
Seandainya sahih , harus dikompromikan dengan hadits-hadits
yang mewajibkan al-Fatihah secara umum termasuk makmum, bahwa hal itu untuk
bacaan setelah al-Fatihah. Buktinya, Nabi n telah melarang makmum membaca di
belakang imam pada shalat jahriyyah kecuali al-Fatihah yang harus tetap dibaca,
yaitu:
• Hadits seorang laki-laki sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَعَلَّكُمْ
تَقْرَءُونَ وَالْإِمَامُ يَقْرَأُ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَ ثَالًا؟
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ،
إِنَّا لَنَفْعَلُ. قَالَ: فَ تَفْعَلُوا
إِ أَنْ يَقْرَأَ أَحَدُكُمْ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Barangkali kalian membaca dalam keadaan imam membaca—dua
kali atau tiga kali?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, kami memang
melakukannya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika begitu,
jangan kalian lakukan hal itu kecuali membaca al-Fatihah.” (HR. Ahmad,
al-Bukhari dalam kitab al-Qira’ah, dan al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan al-
Kubra dari jalan Abu Qilabah dari pria sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Al-Baihaqi menyatakan sanadnya jayyid/bagus serta dinyatakan sahih
oleh al-Albani dan al-Wadi’i)
Terdapat jalan riwayat lain dari Abu Qilabah dari Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu yang semakna dengannya dan lafadz terakhirnya adalah:
فَلاَ تَفْعَلُوا، لِيَقْرَأْ أَحَدُكُمْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فيِ نَفْسِهِ
“Jika begitu, jangan kalian lakukan hal itu, hendaknya salah
seorang dari kalian membaca al-Fatihah pada dirinya
sendiri (berbisik).” (HR. Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan
Ibnu Hibban)
Menurut Ibnu Hibban kedua riwayat ini sahih dan mahfuzh
(benar/terjaga). Guru besar kami, al-Wadi’i dalam al- Jami ash-Shahih memiliki
penilaian yang sama seperti Ibnu Hibban, karena hadits ini juga dinyatakan
hasan oleh beliau. Sementara itu, al-Baihaqi menilai riwayat ini syadz (ganjil/keliru).7
• Hadits ‘Ubadah bin Shamith radhiyallahu ‘anhu dengan
lafadz:
“Adalah kami shalat fajar di belakang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dan
merasa kesulitan membaca. Seusai shalat beliau n bersabda, ‘Barangkali kalian
membaca di belakang imam kalian ?’ Kami menjawab, ‘Ya, kami membaca secara
cepat, wahai Rasulullah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Janganlah kalian melakukannya kecuali membaca al-Fatihah, karena tidak sah
shalat orang yang tidak membacanya.” (HR. Ahmad, al-Bukhari pada kitab
al-Qira’ah, Abu Dawud, at-Tirmidzi—dengan menghasankannya—, ad-Daraquthni, Ibnu
Hibban, al-Hakim, dan al- Baihaqi)
Ibnu Baz menghukumi hadits ini sebagai hadits yang sahih.
Al-Abani dalam kitab Ashlu Shifati Shalati an-Nabi menghukumi sanadnya hasan dan
menukil bahwa hadits ini dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar dan an-Nawawi. Bahkan
ia mengangkat derajatnya menjadi sahih lighairih dengan penguat-penguatnya— di
antaranya adalah hadits yang telah disebutkan di atas. Sementara itu, pada
kitab adh-Dha’ifah dan Dha’if Sunan Abi Dawud, beliau menegaskan bahwa hadits
ini dha’if (lemah) dengan tiga cacat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa hadits ini
memiliki cacat menurut penilaian para imam pakar hadits, dilemahkan oleh Ahmad
dan lainnya dengan banyak kelemahan. Adapun klaim bahwa hukum ini telah mansukh
(terhapus) tidaklah benar. Sebab, hal itu adalah ucapan az-Zuhri
rahimahullah—seorang tabi’in—yang tersisip dalam matan hadits (mudraj), bukan
ucapan Abu Hurairah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hal ini dinyatakan oleh al-Auza’i, Muhammad bin Yahya
adz-Dzuhli (guru al-Bukhari), al-Bukhari dalam kitab at- Tarikh, Abu Dawud
dalam Sunan-nya, Ya’qub bin Sufyan, al-Baihaqi, al-Khatib, al-Kaththabi, dan
lainnya. Ini dibenarkan oleh Ibnu Taimiyah dan asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i
dalam al-Jami’ ash-Shahih. Dengan demikian, riwayat tersebut mursal (terputus
antara az-Zuhri dan Nabi n). Hal ini semakin jelas mengingat Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai wajibnya membaca al-Fatihah dan berfatwa
agar makmum membacanya secara sirr (berbisik). Bagaimana mungkin Abu Hurairah z
menyuruh makmum membaca al- Fatihah secara sirr jika memang benar ia telah
meriwayatkan bahwa hal itu telah mansukh? Tampaknya, pendapat ini lebih kuat
daripada pendapat-pendapat sebelumnya. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat
di antara penganut mazhab ini apakah hukumnya sebagai rukun atau hanya wajib?
a. Menurut Ibnu Hazm, asy-Syaukani, al-Wadi’i: rukun tanpa
perkecualian sama sekali.
b. Menurut mazhab Syafi’i dan Ibnu ‘Utsaimin: rukun dengan
perkecualian masbuq yang ketinggalan bacaan al- Fatihah demi mengikuti imam
yang telah rukuk atau sempat membaca sebagiannya bersama imam tetapi tidak
selesai demi mengikuti imam yang melakukan rukuk sebelum ia menuntaskan
bacaannya.
Kewajiban membaca al-Fatihah gugur atasnya dan dianggap
mendapat rakaat tersebut bersama imam. Dalilnya adalah hadits Abu Bakrah
radhiyallahu ‘anhu,
“Sesungguhnya ia sampai kepada Nabi n dalam keadaan Nabi n
sedang rukuk, kemudian ia rukuk sebelum masuk shaf, kemudian ia menyampaikan
hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, ‘Semoga Allah Subhanahu wata’ala menambahkan semangat
beribadah bagimu, tetapi jangan kamu ulangi (tergesa-gesa masuk shaf)’.” (HR.
al-Bukhari)
Lahiriah hadits ini menunjukkan bahwa Abu Bakrah
radhiyallahu ‘anhu tidak mengganti rakaat tersebut dan tidak pula
diperintah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk menggantinya. Berarti, sama halnya makmum yang masbuq mendapati
imam masih berdiri dan sempat membaca al-Fatihah di belakangnya, tetapi tidak
selesai demi mengikuti imam yang melakukan rukuk. Pendapat bahwa ia dianggap
mendapatkan rakaat tersebut adalah pendapat jumhur ulama.
c. Pendapat yang dipilih Ibnu Baz bahwa membaca al-Fatihah
bagi makmum hukumnya hanya wajib, bukan rukun.
Alasannya, ketika Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu dianggap
mendapatkan rakaat yang ia tidak membaca al-Fatihah karena uzurkeharusan
mengikuti imam (Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) yang sedang rukuk, hal itu
menunjukkan pada asalnya al-Fatihah bukan rukun bagi makmum. Sebab, seandainya
rukun, tidak akan gugur dengan uzur apa pun dan rakaat itu harus diganti.
Jika alasan mengikuti imam yang rukuk dianggap sebagai uzur
yang menggugurkan kewajiban membaca al- Fatihah bagi makmum, begitu pula halnya
makmum yang lupa membaca al-Fatihah atau tidak membacanya karena tidak tahu
hukum (jahil). Bahkan, keduanya lebih berhak diberi uzur daripada masbuq yang
tidak sempat lagi membaca al-Fatihah untuk mengikuti rukuknya imam.
Berdasarkan hal ini, makmum yang lupa baca al-Fatihah pada
sebagian rakaat shalatnya sedangkan ia bukan masbuq, ia tidak wajib sujud
sahwi. Adapun jika ia masbuq satu rakaat atau lebih, ia menambah kekurangannya
setelah imam salam dan wajib sujud sahwi. Lebih utama sujud sahwi sebelum
salam. Pendapat terakhir inilah yang paling menakjubkan kami dan kami pilih
dalam masalah ini.Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment