Mendung menggantung di atas bumi Paris. Langit kelam.
Gerimis perlahan turun. Titik-titik air membasahi tanah, jalanan, rerumputan,
genting, juga halaman depan rumah sebuah keluarga keturunan bangsa Yahudi.
Hujan di luar tidak mengganggu kenyamanan dan kehangatan di dalam rumah
tersebut. Raut-raut wajah yang cerah menandakan keadaan harmonis kehidupan
mereka.
Gerimis terus turun. Di dalam rumah tersebut, seorang wanita
berkebangsaan Perancis berumur 42 tahun telah menyiapkan hidangan makan malam
untuk keluarganya.
“Ayah, anak-anak, makan malam sudah siap. Ayo kita makan
bersama,” seru Christine kepada keluarganya.
“Iya, sayang. Tunggu sebentar,” sahut Alex, suaminya.
“Iya bu, kami datang,” sahut Maria dan Diana berbarengan.
Kedua anak kembar tersebut segera memenuhi ajakan ibunya.
“Ayah kemana, Bu?” Tanya Diana sambil menarik kursi
makannya.
“Di ruang kerjanya. Dia sedang menyelesaikan proposal untuk
proyek penting yang akan dia presentasikan di Kongres Anti-Palestine dua hari
lagi.”
Mendengar hal itu, Maria merasa sangat senang dan berkata,
“Oh, begitu. Semoga proposal Ayah dapat terlaksana. Karena dengan begitu,
kemenangan bangsa Yahudi akan segera terwujud.”
“Ya, semoga. Sudah, ayo kita makan. Kalau sudah dingin
rasanya sudah tidak nikmat lagi.”
“Ya, Bu.”
Maria segera memasukan pasta dengan saus ikan tuna ke dalam
mulutnya. Diana dan Christine juga melakukan hal yang sama. Mereka bertiga
makan dengan lahapnya diselingi dengan obrolan-obrolan mengenai hal-hal menarik
yang dialami oleh Diana dan Maria di sekolah. Christine sesekali menimpali
cerita kedua putrinya tersebut. Sesekali gelak tawa mengiringi cerita mereka.
Tak lama kemudian, Alex pun bergabung dengan mereka bertiga.
Suasana pun menjadi semakin hangat. Selesai makan, mereka berempat menonton TV
di ruang keluarga. Tayangan favorit keluarga itu adalah acara berita. Melalui
berita mereka bisa mengetahui tentang pendapat media mengenai dunia saat ini.
Kebetulan acara berita yang sedang mereka tonton menampilkan berita mengenai penyerangan
negara Israel ke negara Palestina. Mereka menyaksikan bagaimana rakyat
Palestina memprotes PBB yang bungkam terhadap penderitaan yang mereka alami.
Mereka berempat juga menyaksikan korban-korban meninggal dan kritis yang
disorot oleh kameramen.
“Rasakan. Itulah akibatnya menentang dan memprotes kami
terus menerus. Kalian seharusnya menyerah saja dan memberikan tanah kalian
kepada kami karena sejatinya memang tanah itu milik kami,” kata Diana. Maria
pun mengiyakan perkataan saudara kembarnya itu.
“Kau benar, Diana. Mereka tidak pantas hidup di bumi ini.
Karena bumi ini milik bangsa Yahudi.”
“Hahaha.. Ayah bangga kepada kalian.Bangsa Yahudi memang
manusia terbaik di muka bumi ini. Kalian memang Yahudi tulen kebanggan
keluarga.” Alex berkata sambil merangkul Diana dan Maria di kanan dan kirinya.
“Ya, Ayah. Kami bangga darah Yahudi mengalir di dalam tubuh
kami,” sahut Maria.
Mendengar percakapan suami dan anak-anaknya membuat hati
Christine bergejolak. Satu sisi kemanusiaannya, ia tidak tega melihat penderitaan
orang-orang Palestina tersebut. Namun di sisi lain ia tidak bisa berbuat
apa-apa karena ia harus mendukung ras keturunannya.
Sebenarnya, gejolak itu sudah muncul sejak satu tahun yang
lalu ketika ia bertemu dengan seorang dokter muslim berkebangsaan Palestina
saat ia bertugas sebagai relawan dokter di Aceh saat kejadian Tsunami tahun
2004 lalu. Awalnya ia membenci dokter muslim yang bernama Azahra tersebut.
Namun suatu ketika, Chritine pernah mengalami kecelakaan saat ia menumpang
mobil ambulance untuk kembali ke tempat penginapan para relawan. Ia mengalami
pendarahan yang cukup serius di bagian kepalanya dan harus menjalani operasi
membutuhkan darah yang cukup banyak. Saat itu persediaan darah di rumah sakit
yang menangani Christine belum mendapat pasokan darah karena jalanan yang masih
tertutup oleh reruntuhan rumah dan mayat-mayat korban tsunami. Mengetahui keadaan rekannya tersebut, Azahra
berinisiatif untuk mendonorkan darahnya. Setelah di cek dan hasilnya darah
mereka cocok, Azahra pun segera diminta untuk memasuki ruangan khusus untuk
mendonorkan darah.
Tiga hari kemudian, keadaan Christine pun membaik. Dokter
yang menangani dirinya pun memberitahu bahwa ada seorang wanita yang rela
mendonorkan darahnya sesaat setelah mengetahuin bahwa dirinya mengalami
kecelakaan. Christine pun penasaran dan menanyakan siapa yang mendonorkan darah
untuknya. Dokter itu menjawab bahwa Azahra lah yang telah menolongnya.
Christine pun tersentak mengetahuinya. Ia pun berkata bahwa dirinya ingin
bertemu dengan dokter Azahra. Lima belas menit kemudian, dokter Azahra pun
sudah berada di samping tempat tidurnya.
“Hai,” sapa dokter Azahra ramah.
“Hai,” balas Christine dengan senyum dinginnya.
“Bagaimana keadaannmu?”
“Sudah baikan. Besok aku sudah bisa bertugas lagi.”
“Alhamdulillah, bagus kalau begitu.”
“Ya, begitulah.”
Keheningan tercipta di antara mereka untuk beberapa saat.
“Hei, ada yang ingin aku tanyakan padamu. Kenapa kau mau
menolongku dengan memberikan darahmu saat mengetahui bahwa aku mengalami
kecelakaan? Bukankah kamu tahu, aku ini adalah keturunan bangsa Yahudi. Bangsa
yang selalu menindas kaum dari agamamu, agama Islam. Kenapa kau tidak
membiarkan aku mati atau menganiayaku saja seperti bangsa kami yang tega
membunuh rakyat bangsa Palestina? Tahukah kau, bahwa kami, bangsa Yahudi
menganggap orang-orang Islam itu adalah sampah di dunia ini? Mengapa kau masih
saja menolongku? ”
Azahra kaget mendengar perkataan Christine. Mukanya merah
padam. Namun sesaat ia dapat menguasai dirinya. Ia pun tersenyum dan menjawab pertanyaan
Christine.
“Saudaraku, aku menolongmu karena kamu adalah manusia, sama
sepertiku. Menolong seorang manusia sama saja dengan menolong seluruh manusia
di dunia ini, itulah yang diajarkan di dalam agamaku. Dan sekalipun kamu adalah
musuhku, tidak pantas bagiku untuk menelantarkanmu ataupun menganiaya musuhku,
sekalipun ia pernah menganiaya saudara-saudaraku, karena Rasulku tidak pernah
mencontohkan hal itu,” terang Azahra.
Setelah mengatakan hal itu, Azahra pun pamit untuk
melanjutkan tugasnya sebagai relawan dokter. Christine masih terpaku setelah
mendengar penuturan dari Azahra. Ia terpesona. Seketika hatinya merasa
merindukan sesuatu. Ia merindukan Islam hadir di hatinya.
Beberapa waktu setelah menjadi relawan dokter di Aceh,
diam-diam ia mempelajari Islam kepada seorang muslimah yang bertemu dengannya
ketika ia sedang berjalan-jalan pagi di sekitar rumahnya. Jika ia ketahuan
sedang mempelajari Islam oleh keluarganya, maka nyawanya tak akan selamat. Ia
pasti akan dibunuh oleh suaminya. Itu karena suaminya merupakan salah satu
anggota penting dalam sebuah organisasi rahasia yang berisikan orang-orang
Yahudi yang berkompeten untuk menghancurkan Islam di Palestina. Beberapa bulan
mempelajari Islam, ia terpesona dengan ajaran-ajaran yang diajarkan di dalam
Islam. Pernah terbersit di dalam pikirannya untuk berislam secara diam-diam.
Namun ia urungkan karena ia takut menerima konsekuensinya jika ketahuan suatu
saat nanti.
Sudah satu tahun berlalu, dan ia masih belum berani untuk
berislam. Akan tetapi, gejolak di dalam hatinya terus menerus mendorongnya.
Pernah suatu hari ia menangis kepada muslimah tersebut dan mengutarakan niat
baiknya. Namun ia belum berani merealisasikannya. Muslimah tersebut hanya bisa
menghiburnya dan mendoakannya agar ia diberi hidayah dan keberanian untuk
memeluk Islam.
“Ibu, kenapa Ibu melamun?” tanya Diana membuyarkan pikiran
Christine.
“Ah, tidak apa-apa. Ibu hanya berpikir, sampai kapan kita
harus terus memusuhi bangsa Palestina dan ummat Muslim di dunia ini? Bukankah
dengan hidup berdampingan, dunia akan terasa menyenangkan. Tak ada lagi
perselisihan. Bagaimana pendapatmu, Nak?”
“Tidak, aku tidak mau hidup berdampingan dengan ummat
Muslim. Kita ini istimewa, Bu. Apakah pantas kita hidup berdampingan dengan
orang-orang Islam? Kita jauh lebih pintar bahkan jenius dibandingkan dengan
ummat Muslim. Coba ibu lihat, kita jauh lebih maju dibandingkan denga mereka.
Contohnya, lihat saja kemajuan tekhnologi dan kesuksesan ekonomi negara-negara
yang dipimpin oleh orang-orang Yahudi dengan negara-negara yang dipimpin oleh
orang-orang Islam ataupun bukan penganut Islam dan penganut Yahudi,” jawab
Maria nada suara yang sombong.
“Baiklah, baiklah, ibu tidak mau berdebat. Ibu ingin
beristirahat. Selamat tidur ya, sayang.” Christine pun beranjak dari tempat
duduknya dan menciumi pipi anak kembar dan pipi suaminya.
“Ya Allah, Yang Maha Pemberi Petunjuk, anugerahkanlah
kepadaku hidayah-Mu dan keberanian agar aku segera meyakini-Mu secara sempurna.
Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Rasulullah adalah
utusan Allah,” ucap Christine dalam hati.
Malam itu ia lalui dengan tidur paling pulas seumur
hidupnya. Ia pun bermimpi mengucapkan dua kalimat syahadat di sebuah masjid
yang memiliki taman yang sangat indah, dimana bunga-bunga bermekaran di sana.
No comments:
Post a Comment